08 Januari 2008

Monolog Seorang Guru

Alkisah, seorang guru tengah dirundung gelisah. Bukanbermaksud mau menyaingi Pak Butet yang Kertaradjasaitu, kalau dia kemudian bermonolog. Sebab memang diatidak tahu lagi mau ngobrol sama siapa. Kasihanmemang, guru yang kesepian dalam kejenuhan dankelelahan.“Entahlah, akhir-akhir ini aku merasa tengah beradadalam labirin krisis!” begitu guru itu memulaimonolognya. Sebagai kalimat pembuka lumayan juga, agaknyastra sedikit. “Kurasakan semangat yang mulaimengendur, seperti tetek nenek-nenek” Eit! Awas PakGuru, jangan porno! Bisa-bisa dicekal, sekarang kanbaru pada ribut soal pornoaksi dan pornografi! Guruitu tersenyum kecut, lalu melanjutkan, “Aku merasamulai kehilangan spirit, roh yang menggerakan ituseolah pergi begitu saja meninggalkanku. Entahlah, akumerasa sangat lelah!” Sejenak dia diam, menarik nafaspanjang. Gayanya memang sudah kayak aktor beneransaja!“Situasi demikian, sungguh sangat kontras sekalidengan waktu awal-awal dulu ketika pertama kali akumenjadi guru. Semangat yang begitu tinggi, idealismeyang menyala-nyala, ataupun totalitas yang membaraseolah tidak mengenal kata lelah!” Ah, guru itutersenyum mengenang tahun-tahun awalnya mendidik. Tapisebentar kemudian wajahnya mulai mengerut dan masamlagi.“Ada apa dengan aku? Mengapa tiba-tiba saja aku merasasangat lelah! Semangat dan idealisme kurasakan mulaipudar dan tanggal satu-satu! Visi yang dulu tergambardengan jelas, kini mulai mengabur? Adakah akusendirian dengan perasaanku? Apakah guru lain jugamenyimpan perasaan yang sama? Ataukah ini sesuatu yangwajar, karena aku memang sedang berada pada fase ini?Fase kejenuhan dan kelelahan yang meradang yang mestiaku jalani?” Guru itu menggeleng-gelengkan kepalanya,lagaknya memang kayak aktor betulan!“Tapi kenapa ketika aku bertanya pada senior-seniorku,mereka pun tengah lelah dan jengah juga? Kalau inimerupakan satu fase, bukankah seharusnya mereka telahmelampauinya? Tapi yang kulihat merekapun tetap sajakelelahan! Dan ketika aku berkaca pada mereka, akumalah melihat wajah yang buram! Aku tak menemupencerahan atau sekedar insight dari kedalaman jiwamereka. Sebaliknya yang kulihat segalanya serba teknisbelaka yang kadang bercampur dengan apatis danskeptis? Ah, mereka memang sudah tua dan memang pantasuntuk tetap lelah!” Ah, jangan serius-serius Pak Gurunanti tensimu malah naik, awas bisa kena stroke!.“Apakah ini terjadi lantaran aku sudah merasa mapan?Ataukah malah karena ketidakmapananku yang diluarnorma sebab seharusnya aku sudah mapan tapi belum bisamapan?” Pak Guru, nggak usah sok berfilsafatlah! Nantijadi bingung sendiri lho! “Ya, mungkin salah satunyakarena itu, kemapanan! Aku sudah tidak lagi sepertiketika tahun-tahun awal menjadi guru. Dulu aku masihmembujang, belum punya tanggungan! Waktu itu aku tidakharus berpikir untuk memberi makan mulut lain selainmulutku sendiri! Gaji yang kuterima masih cukup untukmengisi perut selama satu bulan. Jadi, aku tidakterlalu memusingkan apakah yang kukerjakan ada duitnyaatau tidak! Aku bisa bekerja dari pagi hingga malam disekolah selama seminggu penuh, karena tidak jarangminggupun ada kegiatan di sekolah, tanpa memikirkanorang di rumah. Dan aku sungguh menikmati itu! Takmemusingkan, apakah akan dapat reward atau tidak daripimpinanku. Kulakukan banyak hal dengan murid-muridku,membuat hal-hal baru bersama mereka. Dan itu kurasakansunggung memperkembangkan diri mereka dan tentumengembangkan aku juga” “Heh! Jangan manggut-manggutkamu!” Ah, Pak Guru bisa saja!“Tapi kini, aku harus bertanggung jawab atas banyakperut! Perut istriku dan perut anak-anakku, selainperutku sendiri tentu saja! Dan gajiku sudah tidaklagi cukup! Jelas, sebab tanggungan bertambah tapigaji stagnan! Dan sebagai lelaki dan suami yangbertanggung jawab aku tidak mungkin membiarkanperut-perut itu kelaparan. Aku mulai berpikirrealistis. Mulailah aku ngobyek sana-sini, jualan bukupelajaran, kadang diundang untuk ngomong sembarangan,nyalo apapun aku lakoni, ngojekpun jadi! Semuakujalani demi asap dapur terus mengepul. Dan apa yangterjadi, semua orang ramai-ramai menudingku, aku sudahmerendahkan martabat guru! Ya, dengan ngobyek begitu,aku memang jadi sedikit melupakan diktat-diktatmengajar. Kadang nyolong-nyolong waktu juga untukmengerjakan pekerjaan lain dan berharap bisa sedikitmengisi pundi-pundi masa depan. Celengan untuk sekolahanak-anak kelak! Kalau tidak begitu, memang ada yangpeduli nasibku, nasib istri dan anak-anakku?!”“Aku tahu dengan begitu, sebenarnya pekerjaankumengajar dan mendidik menjadi tidak optimal. Beberapamalah terbengkelai. Sehingga beban kerja yang kalaudikerjakan biasa saja tanpa nyambi sana-sini sudahseabreg dan berat, jadi semakin menggunung. Membuatkusemakin malas dan merasa tidak betah lama-lama disekolah.””Konflik kepentingan dengan atasan atau kolegayang lain kadang juga tak terelekan. Aku tahu, merekasebenarnya juga ingin melakukan seperti apa yangkulakukan. Non sense, kalau mereka bilang tidak!Mereka pun butuh makan, butuh biaya sekolah untukanak-anaknya, butuh kontrak rumah, karena beli rumahbagi seorang guru, mimpi kaliii yee!” Wah, Pak Gurubisa ndagel juga! Pak guru kali ini tertawa.“Sorry, kalau aku nglantur! Bukan maksudku untukmembuat pembenaran diri atas labirin krisis yangmenyelubungi para guru. Intinya begini, aku merasaberbagai krisis yang dihadapi guru, seperti seolahkehilangan spirit, visi mendidik yang mengabur,idealisme yang mulai pudar itu karena gaji guru tidakmemadai sehingga guru terseret dalam pusaran krisisekonomi yang berkepanjangan. Beban guru yang seabregditambah sistem persekolahan yang menekan para gurumau tidak mau membuat guru terkurung dan terjebakdalam kerja teknis dan administratif dengan tingkatkejenuhan dan kelelahan yang tinggi, jauh darimenginspirasi apalagi mencerahkan! Dengan begitusebenarnya para guru itu semakin diposisikan sebagaisub ordinat yang lemah dan terpinggirkan.” Wah, wah…“Celakanya,” Pak Guru itu melanjutkan lagi. “Para guruitu tidak mempunyai ruang bersama, ruang untuk berbagiuntuk ngudari berbagai krisis yang menelikungnya. Parabirokratpun seolah nggak tahu atau memang benar-benartidak tahu dengan apa yang tengah dihadapi para guru,sehingga tidak tahu mau berbuat apa. Guru tidak punyajendela penyeimbang. Ibaratnya seperti rumah yangnggak memiliki jendela, pengap! Tidak ada tempat untukmenyalurkan ekspresi-ekspresi diri, sehingga bunegsendiri dengan berbagai permasalahan, entah masalah dirumah atau di sekolah yang menghimpitnya. Dan muridlahyang kemudian menjadi korbannya.” Mata Pak Gurumenerawang di kejauhan.“Belum lagi, kalau menetap ke depan. Tantangan guruyang semakin berat. Tengok saja undang-undang guruyang katanya mau melindungi para guru itu, kalaudicermati kan malah semakin menyulitkan guru. Maumenyejahterakan para guru, tapi tuntutannyamacem-macem! Lihat saja, undang-undang itu lebihbanyak mengatur tentang kewajiban guru daripada hakguru. Belum lagi soal sertifikasi guru, yangmensyaratkan guru harus menempuhkan pendidikan profesilagi. Gaji mau naik saja, repotnya nggak karuan.Kelihatannya loro-lopo guru selama ini belum cukupmeyakinkan pemerintah untuk menaikkan upah para guru.Kurikulum pun katanya mau diganti lagi. Padahalkurikulum yang kemarin saja belum beres! Dan kalaumenurut yang membuat kurikulum baru itu, nantinya kurikulum baru disusun dan dibuat oleh guru sendiri.Selalu begitu kan, ujung-ujungnya guru yang repot!” “Maaf, kalau aku selalu mengeluh! Aku tahu mengeluhsaja tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Danaku juga sadar tidak mungkin berharap pada perbaikansistem dalam waktu dekat ini, terlebih berhadap adaperbaikan nasib! Dan nggak lucu, kalau aku juga cumadiam menunggu dalam kepasrahan, dan tidak berbuatapa-apa!” Pak Guru tersenyum getir. Tiba-tiba saja dibenaknya berkelebatan bayanganmurid-muridnya yang bertekun olah rasa setiap sore dipinggir lapangan, kerumunan anak-anak yang begitubersemangat menempa diri dengan berbagai kegiatan sorehari, siswa kelas tiga yang methentheng belajar agarlolos ujian nasional. Bayangan yang berklebatan itumengantarnya masuk ke dalam dirinya sendiri.“Aku merindukan kalian, jiwa-jiwa muda! Apa yangselama ini sudah kulakukan? Untuk apa aku menjadi gurukalau aku sering mengabaikan mereka? Apakah adil kalauaku kelaparan, tapi aku membalaskannya denganmengabaikan mereka? Oh, jiwa-jiwa muda nanbersemangat, maafkan aku gurumu! Oh, spirit, rohpenggerak masukilah jiwa tua nan rapuh agar mampukembali berdiri tegak untuk bergerak-mengolah bersamadengan jiwa-jiwa muda nan bersemangat. Menjernihkankembali visi yang telah lama mengabur. Memantapkankembali panggilan diri sebagai guru, turut sertamembentuk dan mengembangkan kepenuhan manusia-manusiamuda.” Ah, Pak Guru bikin terharu saja.“Baiklah, gajiku mungkin memang tidak akan pernahcukup, tapi tidak seharusnya aku mengabaikanmurid-muridku. Aku harus menyiasati agar tetap bisabertahan, tapi mungkin tidak sampai harus mengorbankanmereka. Aku hanya perlu berpikir, membukasebanyak-banyaknya peluang untuk mengatasi masalahekonomi, tanpa juga harus merendahkan harga diri danmartabat seorang guru. Itu bukan perkara sulit sebabaku seorang guru!” Pak Guru kemudian bangkit danbergegas pergi. Lho, Pak Guru mau kemana? “Gawe jendela!” Aku tersenyum mendengar jawaban PakGuru. Ya, dia memang butuh jendela itu agar bisaberbagi dengan teman-teman seprofesinya. Berbagipergulatan hidupnya, berbagi visi-misinya menjadiguru, agar bisa saling menguatkan. Sehingga spiritsang guru, roh penggerak itu tetap selalu bersemayamdi jiwanya. Dan kalau Pak Guru sudah seperti itu, makatidak ada yang perlu dirisaukan lagi. Ancaman terbesarsesungguhnya bagi dunia pendidikan sudah berlalu.Bayangkan saja kalau para guru loyo, padahal merekaadalah orang-orang yang berada di barisan terdepandunia pendidikan. Bagaimanapun peran mereka tetaptidak pernah tergantikan. Boleh saja kurikulum sangatbagus, sarana prasarana sangat memadai, tapi kalaupara gurunya loyo, semua itu tak berarti apa-apa. Dan kalau Pak Guru sudah bergerak seperti itu, maka tantanganmasa depan seperti apapun tidak akan mampumengoyaknya. Sertifikasi atau ganti kurikulum seribukali bukan soal lagi. Sebab aku yakin, dengan spiritmenyala-nyala di dadanya, guru itu akan selalu menjadimanusia pembelajar yang selalu mengup-grade diri untukkemudian dibagi lagi dengan manusia-manusia muda yangakan selalu ada bersamanya. Aku bangga pernah menjadimuridmu, Pak Guru!

Tidak ada komentar: